Senin, 09 April 2012

Menghidupkan Kembali Peradilan Desa

Kementerian Dalam Negeri mengusulkan pembentukan peradilan desa sebagai bagian dari upaya menyelesaikan perkara-perkara kecil. Peradilan desa akan diperkenalkan dalam Rancangan Undang-Undang tentang Desa yang kini masih dibahas. Itu sebabnya, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi langsung mengungkapkan gagasan itu di depan para kepala daerah yang tengah mengikuti orientasi di Jakarta.

Gagasan ini sejalan dengan upaya Mahkamah Agung membatasi perkara 'remeh temeh' yang masuk ke pengadilan. Sudah lama Mahkamah Agung mendorong agar perkara ringan cukup diselesaikan di luar proses peradilan (out of court settlement). “Pembentukan peradilan desa untuk menyelesaikan kasus ringan yang tidak seharusnya dibawa ke ranah hukum,” kata Gamawan, 26 Maret lalu.

Secara teoritis, gagasan Menteri Dalam Negeri itu dinilai baik oleh pengamat hukum tata negara Irmanputra Sidin. Peradilan desa dibutuhkan agar kasus-kasus kecil dan ringan di pedesaan, atau kasus di desa yang sulit akses ke pengadilan resmi bisa diselesaikan. Penyelesaian melalui peradilan desa acapkali lebih diterima para pihak.

Namun, kata Irman, masih perlu diperjelas format dan bentuk peradilan desa dimaksud. Kalau masuk struktur peradilan negara yang ada, dari sisi anggaran dan legislasi akan sulit diwujudkan dalam waktu dekat. Selain itu, masih perlu dipertegas bagaimana sifat putusan apakah mengikat atau masih bisa diajukan –misalnya—ke pengadilan negeri. “Masih perlu diperjelas formatnya seperti apa,” ujarnya.

Gagasan Menteri Dalam Negeri itu juga direspon positif Mahkamah Agung (MA). “Prinsipnya kami mendukung jika Kemendagri akan membentuk peradilan di tingkat desa,” sambut Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Ridwan Mansyur. “Kami tidak ada masalah dengan pembentukan peradilan desa,” sambung mantan hakim PN Jakarta Pusat itu.

Senada dengan Irman, Ridwan mengingatkan tidak gampang membentuk dan membangun sarana dan prasarana peradilan desa. Misalnya tentang hakim dan tempat peradilannya. Butuh waktu, sumber daya, dan dana yang besar.

Ridwan juga menjelaskan aparat pengadilan sebenarnya sudah berupaya menerapkan kebijakan jemput bola dalam kasus-kasus tertentu. Pengadilan agama di beberapa wilayah, misalnya, telah melaksanakan sidang keliling. “Hakim-hakimnya yang mendatangi tempat-tempat terpencil yang sulit dijangkau untuk menyidangkan perceraian, pengurusan akta kelahiran, dan sebagainya,” kata Ridwan.

Beberapa pengadilan negeri sudah menerapkan zitting plats atau sidang di tempat. Sidang digelar di kantor kecamatan atau kelurahan. “Pengadilan jemput bola. Hakim, jaksa, dan kuasa hukum mendatangi tempat sidang. Sampai sekarang masih berjalan”.

Ditambahkan Ridwan, MA sudah membuka ruang seluas-luasnya bagi pemanfaatan mediasi. Bahkan untuk perkara perdata, mediasi bersifat wajib, dan bisa diterapkan untuk semua tingkatan peradilan (Perma No 1 Tahun 2008). Dalam melaksanakan mediasi, MA tidak mewajibkan mediatornya harus hakim. Dalam rangka out of court settlement, mediator bisa memanfaatkan kepala suku, tetua adat, atau kepala desa.

Sumber : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f81280e74508/menghidupkan-kembali-peradilan-desa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar