Rabu, 20 Juni 2012

Hakim: Unjuk Rasa Wajib Jaga Ketertiban

Penangkapan dan penahanan yang dilakukan polisi terhadap mahasiswa peserta demo adalah sah. Demonstrasi dalam rangka menyampaikan pendapat memang dilindungi UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Tetapi bagaimanapun, demo mahasiswa harus dilakukan sesuai ketentuan perundang-undangan. Peserta demo juga wajib menjaga ketertiban umum.

Demikian intisari pertimbangan hakim tunggal Sukoharsono menjawab permohonan praperadilan yang diajukan Tim Advokasi Gerakan Rakyat (Tegar). Sukoharsono meloloskan lima pihak, mulai dari Kapolri Timur Pradopo hingga penyidik Polda Metro Jaya, Reynold EP Hutagalung, dari permohonan praperadilan Tegar.

Hakim menolak permohonan itu dengan dalih penangkapan dan penahanan M. Agung Septiadi Tuanany sudah sah. Surat penangkapan dan penahanan mahasiswa peserta aksi demo menolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) itu sudah sesuai hukum. “Menyatakan menolak permohonan pemohon praperadilan seluruhnya,” ujar Sukoharsono dalam sidang di PN Jakarta Selatan, Selasa (19/6) kemarin.

Dalam pertimbangan, Sukoharsono mengingatkan demo boleh-boleh saja tetapi harus menjaga ketertiban umum, menjaga persatuan dan kesatuan. Secara prosedural, peserta demo wajib memberitahukan aksi menyatakan pendapat di muka umum itu kepada kepolisian. Jika tidak, polisi berwenang membubarkan aksi demo, termasuk demo 29 Maret 2012 lalu.

Faktanya, urai hakim, pemohon praperadilan tak bisa menunjukkan bukti surat pemberitahuan demo. Kesalahan pemohon bukan saja tak memberitahukan demo ke polisi, tetapi juga anarkisme yang terjadi di Jalan Diponegoro Jakarta Pusat. Terbukti, gara-gara perbuatan anarki, Kapolsek Senen mengalami patah tulang. Jika demikian, maka polisi boleh bertindak, termasuk menangkap dan menahan peserta demo yang melakukan anarki. Sesuai Pasal 17 KUHAP, polisi berwenang menangkap seseorang berdasarkan bukti permulaan yang cukup.

KUHAP memang tak menyebutkan secara rinci pengertian ‘bukti permulaan’. Karena itu, hakim Sukoharsono merujuk Pasal 183 KUHAP yang menyebutkan penyidik berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap suatu perkara. Dalam proses penyelidikan dan penyidikan itulah bisa ditemukan bukti. “Alat bukti yang sah itu minimal adanya keterangan saksi, tersangka dan ahli,” urai Sukoharsono.

Menurut hakim, polisi sudah memenuhi prosedur penangkapan dan penahanan. Termasuk memberitahukan penangkapan itu kepada orang tua Agung Septiadi. Perpanjangan masa penahanan pun sudah dilakukan sebagaimana mestinya.

Anggota Tegar, Octavianus Sihombing, menyatakan menghormati putusan pengadilan. Cuma, ia menyayangkan kesimpulan hakim yang menyebut Agung Septiadi sebagai pembakar bendera saat aksi demo berlangsung. Sihombing yakin pelakunya adalah orang lain.

Terkait langkah hukum atas putusan itu, Tegar belum menentukan sikap resmi. “Kami pikir-pikir dulu untuk banding,” pungkasnya.

Sumber : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4fe13b1952722/hakim--unjuk-rasa-wajib-jaga-ketertiban

Kamis, 14 Juni 2012

PK Solusi Buat Terpidana In-absentia



Peninjauan Kembali (PK) merupakan upaya hukum luar biasa yang bisa ditempuh Sherny Konjongian untuk memperjuangkan hak-haknya. Kasus dan proses hukumnya tidak mungkin dimulai dari awal lagi meskipun Sherny merasa hak-haknya sebagai terdakwa tidak dipenuhi selama persidangan.
Demikian intisari pandangan dosen hukum acara pidana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, Adami Chazawi. Adami diminta tanggapan kemungkinan membuka kembali kasus Sherny setelah terpidana 20 tahun ini berhasil dipulangkan ke Indonesia. “Hanya PK yang bisa dilakukan,” kata Adami kepada hukumonline.
Pengacara Sherny Konjongian, Afrian Bondjol mengatakan salah satu alternatif upaya hukum yang bisa diajukan kliennya adalah membuka kembali kasus ini. Sebab, Sherny diadili secara in-absentia sehingga hak-hak terdakwa belum dipenuhi seluruhnya. Sherny belum memberikan keterangan. Demikian pula saksi atau ahli yang meringankan bagi terdakwa.
Afrian mengaku tim kuasa hukum Sherny sudah melayangkan surat ke Mahkamah Agung, dan tinggal menunggu jawaban. Afrian berdalih proses peradilan pidana bertujuan mencari kebenaran materiil. Kebenaran materiil bisa diperoleh jika terdakwa diperiksa dan dimintai keterangan. “Sekarang terdakwanya sudah ada,” ujarnya.
Sherny dihukum 20 tahun penjara karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama Hendra Rahardja dan Eko Edi Putranto. Sherny tak bisa dihadirkan jaksa dalam persidangan meskipun sudah dipanggil secara patut. Kalau sudah dipanggil secara patut tetapi terdakwa tak mempergunakan kesempatan itu untuk membela diri, maka terdakwa tak bisa menuntut kasusnya dibuka lagi dari awal. “Walaupun tidak hadir dan sudah berkekuatan hukum tetap, tetap tidak bisa,” tegas Adami.
Adami Chazawi berpendapat PK merupakan jalan bagi Sherny jika ingin menempuh upaya hukum. Afrian Bondjol juga membenarkah opsi mengajukan PK. Ia yakin kliennya tidak bersalah karena merupakan seorang profesional yang bekerja di Bank Harapan Sentosa. Kepastian tentang langkah hukum yang akan ditempuh masih didiskusikan antara Sherny dan tim kuasa hukum.
Dalam konstruksi KUHAP, PK adalah upaya hukum luar biasa untuk memeriksa kembali suatu putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Pasal 263 ayat (1) memberikan hak mengajukan PK kepada terpidana atau ahli warisnya.  Permohonan PK diajukan ke Mahkamah Agung melalui Pengadilan Negeri asal pemutus perkara.
Keberatan
Putusan tanpa hadirnya terdakwa atau in-absentia bisa menimbulkan masalah hukum di kemudian hari. Bukan hanya klaim hak-hak hukum terdakwa yang tidak dipenuhi, tetapi juga kemungkinan keberatan dari orang lain.
Salah satu ‘yurisprudensi’ yang memutus persoalan keberatan gara-gara sidang in-absentia adalah putusan Mahkamah Agung No. 1721 K/Pid/2011. Robert Tantular mengajukan keberatan atas perampasan aset-asetnya berdasarkan putusan pengadilan yang menghukum Rafat Ali Rizvi dan Hesham al-Waraq. Rafat, Hesham dan Robert pernah sama-sama di Bank Century. Dalam putusan PN Jakarta Pusat, Desember 2010, ketiganya dianggap melakukan tindak pidana bersama-sama. Itu sebabnya aset-asetnya dirampas.
Robert Tantular berkeberatan atas perampasan asetnya, sehingga ia melakukan perlawanan. Namun dalam putusan, majelis hakim agung beranggotakan Artidjo Alkostar, Sofyan Sitompul, dan Achmad Yamanie, menolak permohonan kasasi Robert Tantular. Ini berarti keberatan Robert ditolak.

Senin, 09 April 2012

Menghidupkan Kembali Peradilan Desa

Kementerian Dalam Negeri mengusulkan pembentukan peradilan desa sebagai bagian dari upaya menyelesaikan perkara-perkara kecil. Peradilan desa akan diperkenalkan dalam Rancangan Undang-Undang tentang Desa yang kini masih dibahas. Itu sebabnya, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi langsung mengungkapkan gagasan itu di depan para kepala daerah yang tengah mengikuti orientasi di Jakarta.

Gagasan ini sejalan dengan upaya Mahkamah Agung membatasi perkara 'remeh temeh' yang masuk ke pengadilan. Sudah lama Mahkamah Agung mendorong agar perkara ringan cukup diselesaikan di luar proses peradilan (out of court settlement). “Pembentukan peradilan desa untuk menyelesaikan kasus ringan yang tidak seharusnya dibawa ke ranah hukum,” kata Gamawan, 26 Maret lalu.

Secara teoritis, gagasan Menteri Dalam Negeri itu dinilai baik oleh pengamat hukum tata negara Irmanputra Sidin. Peradilan desa dibutuhkan agar kasus-kasus kecil dan ringan di pedesaan, atau kasus di desa yang sulit akses ke pengadilan resmi bisa diselesaikan. Penyelesaian melalui peradilan desa acapkali lebih diterima para pihak.

Namun, kata Irman, masih perlu diperjelas format dan bentuk peradilan desa dimaksud. Kalau masuk struktur peradilan negara yang ada, dari sisi anggaran dan legislasi akan sulit diwujudkan dalam waktu dekat. Selain itu, masih perlu dipertegas bagaimana sifat putusan apakah mengikat atau masih bisa diajukan –misalnya—ke pengadilan negeri. “Masih perlu diperjelas formatnya seperti apa,” ujarnya.

Gagasan Menteri Dalam Negeri itu juga direspon positif Mahkamah Agung (MA). “Prinsipnya kami mendukung jika Kemendagri akan membentuk peradilan di tingkat desa,” sambut Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Ridwan Mansyur. “Kami tidak ada masalah dengan pembentukan peradilan desa,” sambung mantan hakim PN Jakarta Pusat itu.

Senada dengan Irman, Ridwan mengingatkan tidak gampang membentuk dan membangun sarana dan prasarana peradilan desa. Misalnya tentang hakim dan tempat peradilannya. Butuh waktu, sumber daya, dan dana yang besar.

Ridwan juga menjelaskan aparat pengadilan sebenarnya sudah berupaya menerapkan kebijakan jemput bola dalam kasus-kasus tertentu. Pengadilan agama di beberapa wilayah, misalnya, telah melaksanakan sidang keliling. “Hakim-hakimnya yang mendatangi tempat-tempat terpencil yang sulit dijangkau untuk menyidangkan perceraian, pengurusan akta kelahiran, dan sebagainya,” kata Ridwan.

Beberapa pengadilan negeri sudah menerapkan zitting plats atau sidang di tempat. Sidang digelar di kantor kecamatan atau kelurahan. “Pengadilan jemput bola. Hakim, jaksa, dan kuasa hukum mendatangi tempat sidang. Sampai sekarang masih berjalan”.

Ditambahkan Ridwan, MA sudah membuka ruang seluas-luasnya bagi pemanfaatan mediasi. Bahkan untuk perkara perdata, mediasi bersifat wajib, dan bisa diterapkan untuk semua tingkatan peradilan (Perma No 1 Tahun 2008). Dalam melaksanakan mediasi, MA tidak mewajibkan mediatornya harus hakim. Dalam rangka out of court settlement, mediator bisa memanfaatkan kepala suku, tetua adat, atau kepala desa.

Sumber : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f81280e74508/menghidupkan-kembali-peradilan-desa

Senin, 26 Maret 2012

Pro Kontra Status Anak Luar Kawin

Nama penyanyi Machica Mochtar mungkin akan dikenang sebagai orang yang membawa perubahan pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974tentang Perkawinan (UUP). Selama 38 tahun berlaku, diwarnai suara pro dan kontra, UUP nyaris tak tersentuh.
Sekalipun M. Insapernah ‘menggugat’ aturan yang mempersulit poligami dalam UUP empat tahun lalu, langkah warga Bintaro Tangerang itu kandas di tangan Mahkamah Konstitusi. Upaya para aktivis perempuan, termasuk Komnas Perempuan, meminta revisi UUP ke DPR dan Pemerintah juga belum membuahkan hasil. Hingga akhirnya, Machica Mochtar datang. Perempuan asal Makassar ini mempersoalkan pasal 2 ayat (2) dan pasal 43 ayat (1) UUP. Ia ingin memperjelas status M. Iqbal Ramadhan, anak yang lahir dari perkawinannya secara agama dengan pria bernama Moerdiono.

Perjuangan Machicha dan tim pengacara selama satu setengah tahun di Mahkamah Konstitusi membuahkan hasil. Mahkamah seolah memberikan kado istimewa sebulan sebelum ulang tahun sang penyanyi dangdut. Rumusan dalam UUP, anak luar kawin hanya  mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, dibatalkan. Berdasarkan putusan Mahkamah, anak luar kawin juga mempunyai hubungan darah dan hubungan perdata dengan ayahnya.

Semangatnya, Mahkamah ingin menegaskan bahwa anak luar kawin pun berhak mendapat perlindungan hukum. “Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih disengketakan,” begitu antara lain pertimbangan Mahkamah.

Anak luar kawin, secara sederhana, diartikan sebagai anak yang dilahirkan seorang perempuan, sedangkan perempuan itu tidak berada dalam ikatan perkawinan yang sah menurut hukum dan agama dengan pria yang membuahinya. Dalam konsep hukum perdata, anak luar kawin itu bisa lahir dari orang tua yang salah satu atau keduanya terikat dengan perkawinan lain. Artnya, secara hukum, anak tersebut lahir dari hubungan zina.  Pasal 44 ayat (2) UUP memberi wewenang kepada pengadilan untuk memutuskan sah tidaknya seorang anak yang dilahirkan isteri berdasarkan permintaan salah satu atau kedua belah pihak.

Bisa juga ibu dan ayahnya sama-sama masih lajang, sehingga anak disebut anak luar nikah. Berdasarkan UUP, anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.

Kompilasi Hukum Islam menyebutkan seorang perempuan hamil di luar nikah hanya dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. Jika si pria menikahinya, maka anak yang lahir menjadi anak sah. Pasal 272 KUH Perdata juga menyebutkan demikian. Pengakuan si ayah terhadap anak biologisnya membawa konsekuensi adanya hubungan perdata (pasal 280 KUH Perdata). Ibu dan/atau ayah dapat meminta ke pengadilan untuk mengesahkan status anak tersebut. Lihat misalnya penetapan PN CilacapNo. 29/Pdt.P/201/PN.CLP tanggal 18 April 2011 lalu, yang menyatakan bahwa para pemohon mengesahkan seorang anak yang lahir di luar nikah sebagai anak sah dari para pemohon.

Bagaimana kalau ayah biologis menolak mengakui atau ia mengingkari sang anak seperti dimungkinkan dan dipersyaratkan dalam pasal 251 KUH Perdata atau pasal 101 Kompilasi Hukum Islam? Malah dalam konsep hukum perdata, pasal 287 KUH Perdata, dilarang menyelidiki siapa ayah seorang anak. Norma ini dihubungkan dengan pasal 285-288, 294 dan 332 KUH Pidana (persetubuhan di luar perkawinan).
Dalam praktik, sering terjadi anak luar kawin tak mendapat kejelasan atau tidak dibuktikan ayah biologisnya. Inilah yang mendasari pandangan Mahkamah, bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti test  DNA (deoxyribonucleic acid), atau sistim pembuktian hukum, dapat dipergunakan untuk memperjelas ayah biologis anak.

Norma hukum ‘anak luar nikah hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya’ membawa konsekuensi antara lain pada akta kelahiran. Pada akta kelahiran biasanya hanya tertulis nama ibu yang melahirkan. Sekalipun ayah biologis berusaha merebut si anak lewat jalur pengadilan, umumnya pengadilan tetap mengukuhkan hubungan perdata anak hanya dengan ibunya. Pasal 55 ayat (1) UUP menyebutkan asal usul anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran yang otentik yang dikeluarkan oleh pejabat berwenang.

Putusan kasasi Mahkamah Agung No. 9 K/Pdt/2004, misalnya, menegaskan anak yang diperebutkan adalah anak luar kawin yang dilahirkan dari hubungan penggugat dan tergugat, tetapi hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibu. Si ibu diberi hak untuk menguasai, mendidik, dan mengasuh dalam arti seluas-luasnya anak luar kawin. Ada banyak putusan pengadilan sejenis, yang menegaskan hubungan perdata anak luar kawin hanya dengan ibunya.

Dalam bukunya, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia (2006), hakim agung Abdul Manan, menyebutkan hubungan perdata anak luar kawin dengan ayah biologisnya menimbulkan kewajiban timbal balik dalam hal pemberian nafkah, perwalian, hak memakai nama, dan mewaris.

Bukan legalisasi zina
Raison d’etre putusan Mahkamah sedikit banyak bisa dibaca dari tulisan Ketua MK, Moh. Mahfud MD, di Sindo beberapa hari setelah putusan. Berbekal pengalaman melihat teman kuliah yang menikah siri  guna menghindari zina. Gara-gara pernikahan mereka tak tercatat, anak hasil perkawinan tersebut menghadapi kesulitan mendapatkan administrasi kependudukan. Apalagi kalau ayah biologis tak mau melakukan istbat (pengakuan) atas anak.

Bisa jadi, tulis Mahfud, penyusun UUP bermaksud baik, yakni mencegah  lelaki kawin secara diam-diam dengan cara mengibuli masyarakat, juga bermaksud agar perempuan tidak mau dinikahi secara siri. Tetapi faktanya masih banyak orang melakukan kawin siri dengan dalih diperbolehkan agama. Padahal, jelas Mahfud, yang sah menurut agama tak boleh berakibat mengorbankan anak yang dilahirkan. Ketentuan pasal 2 ayat (2) dan pasal 43 ayat (1) UUP “tidak adil dan melanggar moralitas hukum”.

Putuan MK menegaskan anak luar nikah mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan bapaknya sekaligus. Menurut Mahfud, ketentuan ini berlaku bukan hanya bagi mereka yang kawin siri, melainkan berlaku juga bagi mereka yang kawin kontrak, kawin mut’ah, bahkan bagi mereka yang berzina. “Pokoknya, siapapun yang menggauli perempuan dan melahirkan anak darinya, maka dia punya hubungan perdata dengan anak yang dilahirkannya,” tulis Mahfud dalam kolom di harian Sindo.

Lantaran putusan MK memberi perlindungan dan status hukum kepada anak luar kawin, termasuk hasil zina, maka muncul rumor bahwa MK melegalisasi perbuatan zina dan kumpul kebo karena toh kelak anak hasil hubungan gelap itu diakui secara hukum. Gara-gara rumor ini, Mahkamah Konstitusi sampai menggelar konperensi pers khusus pada 7 Maret lalu.

Dalam konperensi pers itu, hakim konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi menegaskan putusan MK semata berupaya melindungi anak luar kawin yang tidak berdosa, bukan membenarkan tindakan perzinahan atau samenleven. “Ada penafsian di masyarakat seolah-olah MK menghalalkan perzinahan. Hal itu tidak ada sama sekali dalam putusan. Harus dipahami antara memberikan perlindungan terhadap anak, dan persoalan perzinahan merupakan dua rezim hukum yang berbeda,” ujar Fadlil.

Apresiasi dan Kritik
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 akan membawa konsekuensi luas dan mengubah kelaziman. Anak tak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu, tetapi juga dengan ayah. Ada semangat perlindungan anak lepas dari status perkawinan orang tuanya.

Itu sebabnya Komnas Perempuan menyambut positif putusan MK karena sejalan dengan konstitusi dan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (UU No. 7 Tahun 1984). “Putusan ini meneguhkan pelaksanaan jaminan hak konstitusional bagi anak,” demikian bunyi pernyataan resmi Komisi yang diterima hukumonline.

Sepekan setelah putusan MK dibacakan, komisioner Komnas HAM, Saharuddin Daming, membuat sebuah artikel yang memuji putusan Mahkamah Konstitusi sebagai ‘terobosan spektakuler’. Menurut Daming, ketentuan pasal 2 ayat (2) dan pasal 43 ayat (1) UUP memerkosa rasa keadilan dan bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia yang dijamin pasal 28B ayat (1) dan (2) serta pasal 28D ayat (1).

Sebaliknya, sebagian kalangan ulama Islam melayangkan kritik. Jika anak luar nikah diakui bisa membawa implikasi bahwa perkawinan orang tuanya dianggap sah. Petugas KUA kemungkinan akan menolak memberikan buku nikah orang tua anak luar kawin karena mereka tidak pernah nikah secara resmi. “Alangkah baiknya putusan itu dikaji ulang,” kata Syamsuar Basyariah, Ketua ICMI Aceh Barat, seperti dikutip Antara.

Putusan MK juga dinilai akan membuat repot pembagian waris. Dalam praktik selama ini, tidak semua anak luar kawin memperoleh waris. Jika anak luar kawin mempunyai hubungan perdata dengan bapaknya maka si anak juga menjadi ahli waris terhadap ayah biologisnya.

Sebulan setelah putusan MK tersebut, Majelis Ulama Indonesia juga mengeluarkan fatwa No. 11 Tahun 2012. Fatwa ini dibuat untuk menjawab pertanyaan masyarakat atas hal-hal yang tidak jelas dalam putusan MK. MUI mengingatkan antara lain bahwa anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali nikah waris, dan nafaqah dengan lelaki yang menyebabkan kelahirannya. Tetapi MUI juga mengingatkan bahwa pemerintah wajib melindungi anak hasil zina dan mencegah terjadinya penelantaran.

Harapan
Putusan MK mengenai anak luar kawin mungkin akan terus menuai polemik. Apapun materi perdebatan tentang putusan MK tersebut, Komnas Perempuan meminta agar hakim-hakim peradilan menggunakan putusan MK dalam memutus perkara terkait hak anak pada hubungan perdata dengan ayah biologisnya. Komnas Perempuan juga meminta pemerintah mensosialisasikan putusan MK lintas sektor karena membawa implikasi yang sangat luas.

Terkait dengan putusan itu, MUI merekomendasikan agar pemerintah memberikan kemudahan layanan akta kelahiran kepada anak hasil zina, tetapi tidak menasabkannya kepada lelaki yang menyebabkan kelahirannya.

Apapun perdebatannya, para pihak sepakat bahwa anak luar nikah pun berhak mendapatkan perlindungan hukum. Termasuk mengetahui siapa kedua orang tuanya. Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan secara tegas: “Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri”. Lema ‘orang tua’ dalam norma itu tentu bukan hanya ibu.

Percayalah, Machica bukan satu-satunya perempuan yang mengalami nasib serupa. Ada banyak perempuan yang ingin memperjuangkan status anaknya yang lahir di luar perkawinan yang sah.

Sumber : http://hukumonline.com/berita/baca/lt4f633ebb2ec36/pro-kontra-status-anak-luar-kawin

Kamis, 22 Maret 2012

E-mail Sebagai Alat Bukti


Dalam proses peradilan perdata berlakulah Hukum Acara Perdata. Hukum Acara Perdata sendiri mengenal 5 macam alat bukti yang sah, yaitu (Pasal 164 Herzien Inlandsch Reglement - “HIR”):
a)     Surat
b)     Saksi
c)     Persangkaan
d)     Pengakuan
e)     Sumpah
Mengenai apakah e-mail dapat dijadikan sebagai alat bukti dalam proses peradilan perdata, kita perlu merujuk pada ketentuan dalam UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik(“UU ITE”) yang kami kutip di bawah ini:
Pasal 5
(1).   Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
(2).   Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
(3).   Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan SistemElektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
(4).   Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:
a)   surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan
b)   surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta notarilatau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.
Dengan mendasarkan pada ketentuan di atas, dapat disimpulkan bahwa UU ITE telah mempertegas kedudukan e-mail sebagai salah satu Dokumen Elektronik yang dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah.
Dalam ranah pidana, dijelaskan lebih jauh oleh Jaksa pada Kejaksaan AgungRI Arief Indra Kusuma Adhi dalam sebuah diskusi yang dilaksanakan hukumonline, ada dua pilihan yang sering dipakai untuk menyikapi alat bukti elektronik yaitu, sebagai alat bukti surat, atau alat bukti petunjuk, dengan ketentuan:
-         informasi elektronik menjadi alat bukti surat jika informasi elektronik itu diubah dalam bentuk cetak;
-         Informasi elektronik menjadi alat bukti petunjuk apabila informasi elektronik itu punya keterkaitan dengan alat bukti lain dan semua kekuatan alat bukti tersebut bebas. Artinya, informasi elektronik tersebut tetap dikaitkan dengan alat bukti lain dan menurut keyakinan hakim, selain kemampuan jaksa meyakinkan hakim.
Sedangkan untuk ranah perdata, karena dalam hukum acara perdata tidak ada alat bukti petunjuk, maka e-mail yang kemudian diubah menjadi bentuk cetak adalah termasuk alat bukti surat.
Namun, sesuai pengaturan Pasal 5 ayat (4) UU ITE, tidak semua e-mail dapat dikategorikan sebagai alat bukti yang sah. E-mail tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah dalam beberapa hal berikut:
a)     Surat yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis;
b)     Surat beserta dokumen pendukungnya yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta tanah.
Jadi, e-mail dapat saja dijadikan sebagai alat bukti dalam proses peradilan perdata dengan mendasarkan pada hal-hal yang telah kami uraikan di atas.
Sebagai referensi tambahan, simak juga Faksimili Sebagai Alat Bukti.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1.      Herzien Indonesis Reglement/Reglemen Indonesia Baru (Stbl 1984: No. 16 yang diperbaharui dengan Stbl 1941 No. 44);
  
Diana Kusumasari
22/03/2012

Jumat, 09 Maret 2012

Pijakan Langkah

Bismillah..

Manusia bisa datang dan pergi..namun sebuah karya akan tetap abadi..